Sabtu, 19 Juni 2021

Masa Prasejarah di Bali (Artikel Lengkap)

Sekarang, kami akan menaruh kompendium mengenai kehidupan rakyat Bali pada zaman prasejarah secara kronologis. Zaman prasejarah Bali dimulai semenjak Pulau Bali didiami sang insan Indonesia yg tertua, yang belum mengenal tulisan. Pada zaman ini sudah ditemukan balik aneka macam macam perkakas dan benda-benda yg berkaitan dengan keperluan keagamaan. Kenyataan ini sudah pertanda bahwa masyarakat prasejarah Bali sudah berhasil mencapai suatu tingkat kehidupan yang maju, yg lalu sebagai dasar bagi perkembangan kehidupan masyarakat Bali sesudah datangnya imbas Agama Hindu.

Alat-indera bantu menurut masa berburu dan mengumpulkan kuliner tingkat sederhana yaitu kapak perimbas, kapak genggam, pahat genggam, serut, dan sebagainya. Semua alat itu masih kasar pada pembuatannya. Umumnya ditemukan pada desa Sembiran, Singaraja, & di tepi sebelah timur dan tenggara Danau Batur (Trunyan).

Pada masa berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana, penduduk hidup mengembara dan semua hidupnya tergantung pada alam sekitarnya. Segalanya bertujuan buat menerima kuliner setiap hari. Mereka telah memilih tempat-tempat yang mempunyai sumber-asal kuliner & air yang relatif buat kelangsungan hidupnya. Seperti wilayah padang rumput yang subur, dengan semak belukar, dan hutan-hutan mini yang pada sekitarnya masih ada asal air.

Binatang yg umumnya diburu merupakan banteng, rusa, dan lain-lain. Selain untuk berburu, indera-alat bantu dalam masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana juga bisa digunakan untuk mencungkil atau mengumpulkan output-hasil alam yang dapat dimakan seperti umbi-umbian. Mereka juga melakukan usaha buat meramu bahan-bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan misalnya daun-daunan.

Sebagai pengembara, mereka akan berpindah-pindah (nomaden) dari loka yang satu ke loka lainnya jika pada tempat sebelumnya sudah nir terdapat lagi persediaan bahan-bahan kuliner yg cukup buat mengklaim kelangsungan hidupnya. Mereka pula harus berjuang menghadapi alam yg ganas contohnya letusan gunung berapi, banjir besar , & hewan-binatang buas yg banyak berkeliaran pada hutan Bali pada ketika itu.

Jumlah penduduk pada masa berburu dan mengumpulkan kuliner tingkat sederhana nir begitu poly. Hal ini disebabkan oleh keganasan alam, penyakit, & mereka sendiri yang sengaja mengurangi jumlah anggotanya supaya mempermudah gerakan kelompoknya. Anak-anak perempuan umumnya akan dibinasakan & dibunuh lantaran dianggap nir produktif.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada pembagian tugas antara pria dan wanita. Laki-laki yang memiliki energi bertenaga bertugas untuk melakukan perburuan di hutan. Perempuan umumnya hanya bertugas untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ringan seperti membimbing anak & meramu kuliner. Perempuan pula bertugas buat memelihara barah yg telah ditemukan karena barah amat penting pada pada kehidupan mereka sehari-hari.

Untuk cara berkomunikasi pada masa berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana belum diketahui. Kemungkinan mereka telah mengenal suatu bahasa menjadi indera bertutur di antara anggota kelompoknya atau menggunakan kelompok lainnya. Bukti-bukti mengenai hal ini belum ditemukan hingga sekarang.

Bekas-bekas kehidupan berdasarkan masa berburu dan mengumpul kuliner tingkat lanjut ditemukan di daerah perbukitan kapur pada Pecatu (Badung), yaitu pada Gua Selonding. Di Gua Selonding ditemukan beberapa butir indera-indera dari tulang & kulit-kulit kerang sisa kuliner. Alat-alat yg ditemukan yakni 3 buah alat tusuk (lancipan Muduk), sudip tulang, alat tusuk berdasarkan tanduk rusa, pecahan-pecahan kulit kerang & siput bahari, dan gigi-gigi hewan seperti gigi babi dan rusa yg diduga adalah sisa-sisa makanan penduduk. Dalam umumnya indera-indera dari Gua Selonding ukuran kecil.

Kehidupan dalam masa ini hampir tidak tidak sinkron dengan kehidupan pada masa sebelumnya. Penduduk masih hidup berburu dan mengumpulkan makanan dan semuanya tergantung pada alam sekitarnya. Mereka masih juga meneruskan cara-cara meramu hasil-hasil hutan yg dapat dimakan. Di samping itu mereka pula menangkap ikan, mencari kerang, dan siput pada laut juga sungai.

Pada masa ini telah tampak ada pertanda-pertanda dimulainya bisnis buat bertempat tinggal di dalam gua-gua alam atau gua-gua payung seperi pada Gua Selonding walaupun masih nomaden. Gua-gua alam yg dipilihnya itu sudah tentu mempunyai asal bahan-bahan kuliner yang cukup baik, contohnya tidak jauh dari sungai atau laut. Tempat ini akan segera ditinggalkan & mereka akan berpindah ke loka baru, jika makanan yang tersedia tidak lagi mencukupi kebutuhan kelompoknya.

Jumlah penduduk dalam masa berburu & mengumpul makanan tingkat lanjut hampir nir mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Di dalam gua-gua yg mini , kemungkinan hanya didiami oleh dua atau tiga keluarga kecil. Mereka berburu hewan-binatang mini yg dibuktikan menggunakan indera-indera yg ditemukan pada umumnya berukuran mini misalnya ujung panah atau ujung tombak yg tajam. Pekerjaan berburu dilakukan secara teratur & bersama satu gerombolan lalu hasilnya dibagi homogen atau dimakan beserta-sama.

Bercocok tanam atau bertani, mungkin sekali sudah dilakukan pada masa ini dengan cara yang sangat sederhana & berpindah-pindah sinkron tingkat kesuburan tanah. Daerah hutan yang akan dijadikan areal pertanian, terlebih dahulu dibersihkan dengan cara dibakar. Pada ketika itu mungkin mereka menanam umbi-umbian dengan cara mensteknya. Mereka belum mengenal cara menanam biji-bijian. Mungkin juga mereka telah menanam homogen padi liar dan dipanen menggunakan memakai pisau-pisau batu yg tajam. Bila animo panen sudah berakhir, mereka akan berpindah ke loka yang lain dan akan melakukan hal yg sama. Di daerah Asia Tenggara sudah ditemukan adanya bukti-bukti mengenai cara pertanian yg berpindah-pindah.

Pada masa ini sangat mungkin telah dibuat indera-indera dari bambu, lantaran bambu bisa diperoleh dengan cara yg gampang dan mengolahnya pum sangat mudah. Bambu dapat dijadikan sudip atau lancipan sederhana buat mencungkil dan membersihkan umbi-umbian. Bambu pula dijadikan barang-barang anyaman yang dapat digunakan dan pula dipakai untuk menciptakan api. Bukti-buktinya memang belum ditemukan di Indonesia. Tetapi, pada wilayah Thailand sudah ditemukan residu-sisa bambu yg terbakar pada lapisan-lapisan gua yang pernah dijadikan tempat tinggal dalam masa itu.

Kemungkinan juga mereka sudah sanggup buat menjinakkan hewan tetapi hal ini belum terbukti di Bali. Binatang-hewan yg dijinakkan itu dapat membantu pada memburu atau menjaga loka tinggal.

Masa bercocok tanam merupakan suatu revolusi yang pertama dalam kehidupan insan. Teknologi pembuatan indera-alat buat keperluan hayati dibuat dengan baik sekali & digosok sampai halus & mengkilat. Mereka jua telah meninggalkan cara hayati mengembara dan menciptakan desa-desa mini . Untuk tempat tinggal, mereka mendirikan rumah-rumah panggung yang dikerjakan secara gotong royong buat menyelamatkan diri menurut bahaya banjir atau gangguan dari binatang buas.

Peninggalan-peninggalan yang berupa indera-alat batu dari masa bercocok tanam ini ditemukan tersebar hampir pada semua Bali. Seperti di Palasari, Kediri, Bantiran, Pulukan, Kerambitan, Payangan, Ubud, Pejeng, Selulung, Kesiman, Selat, Nusa Penida dan di beberapa desa pada Bali Utara. Alat-indera yang telah dikumpulkan selama ini pada Bali memperlihatkan bahwa hampir seluruh daerah Pulau Bali telah ditempati. Sekarang, sejumlah alat-alat tadi telah dikumpulkan pada Museum Bali, Denpasar dan Museum Gedung Arca, Bedulu, Gianyar. Alat-indera tadi belum dapat menaruh poly citra mengenai kehidupan yang sebenarnya telah terjadi.

Tingkat penguasaan teknologi pembuatan indera-alat batu semakin maju dan bisnis bertempat tinggal secara permanen telah mulai dilakukan. Mereka mulai bercocok tanam secara sederhana & mengembang biakkan binatang-binatang tertentu. Mereka menentukan loka-tempat yang subur. Binatang-hewan misalnya anjing & babi mulai dipelihara & dikembangbiakkan. Kecuali buat dimakan, babi dipelihara buat keperluan upacara-upacara tertentu.

Kemajuan baru sudah menyebabkan perubahan dalam bisnis atau cara untuk memenuhi keperluan pokoknya akan makanan sehari-hari. Perubahan ini mengakibatkan adanya pembaruan pada pada tata kehidupan rakyat. Kehidupan menetap sudah memberikan kemungkinan bertambahnya jumlah anggota famili atau anggota grup. Anak-anak mulai dianggap menjadi tenaga pembantu yang produktif. Kaum perempuan mulai lebih poly mengambil bagian pada berbagai kegiatan. Pertumbuhan rakyat sebagai lebih teratur dalam ikatan-ikatan famili & kehidupan gotong royong dianggap menjadi kewajiban beserta yg mengikat bagi seluruh orang. Mereka memanfaatkan ketika menunggu akan datangnya demam isu panen menggunakan baik seperti dengan membuat gerabah dan barang-barang kerajinan anyam-anyaman.

Pada masa ini diduga mereka sudah melakukan pelayaran melalui bahari dengan memakai perahu bercadik atau rakit-rakit yang sederhana. Dengan alat transportasi bahari tersebut, mereka telah melakukan perdagangan pada bentuk tukar menukar barang yg diperlukannya (barter). Perdagangan ini yang mendorong penyebaran kebudayaan dan memajukan kebudayaan dikalangan penduduk.

Dalam masa kemajuan yg sudah berhasil dicapai, mereka memerlukan adanya bahasa menjadi indera perhubungan. Para pakar sudah memperkirakan bahwa bahasa yang dipakai pada kepulauan Indonesia dalam masa prasejarah merupakan Bahasa Melayu-Polinesia atau Bahasa Austronesia. Bahasa ini sudah mempermudah penyebaran kebudayaan dan mempermudah perdagangan.

Masyarakat pada masa bercocok tanam menuntut adanya seorang tokoh pemimpin desa buat menjaga segala ketertiban hayati. Jabatan pemimpin desa ini umumnya dipegang sang seorang tua yg mempunyai kewibawaan, kejujuran, dan disegani atau dihormati masyarakat. Pada masa ini mulai berkembang tradisi penghormatan kepada orang tua yang menjadi pemimpin & tradisi ini berkembang lebih pesat pada masa selanjutnya. Hal ini bisa ditinjau pada bangunan-bangunan megalit sebagai media penghormatan.

Pada masa ini berkembang jua kepercayaan bahwa kehidupan selesainya tewas dunia akan berpengaruh terhadap kehidupan ketika ini (animisme). Berdasarkan kepercayaan ini, maka kepada orang yang tewas global diberikan suatu perawatan yang baik disertai suatu upacara penguburan & diberi jua bekal kubur. Pemberian bekal kubur, merupakan pernyataan berdasarkan agama tadi, bahwa di alam baka kehidupan orang yg telah mati itu akan berlangsung terus. Pada masa perundagian, kepercayaan ini berkembang lebih pesat lagi.

Bertambahnya jumlah penduduk yg disertai kemajuan teknologi pada desa-desa, memerlukan persediaan bahan kuliner yg lebih poly. Untuk mengklaim persediaan bahan kuliner, maka diperlukan tanah pertanian yg lebih luas dan penggarapan tanah dengan cara-cara yg lebih intensif. Untuk keperluan pada atas sudah dilakukan perabasan hutan.

Kehidupan rakyat pada masa perundagian masih berdasar berdasarkan masa bercocok tanam, yang sudah menaruh perkembangan yang lebih maju. Pada masa perundagian, perkembangan teknologi mencapai kemajuan yang lebih pesat dengan ditemukan bijih-bijih logam dan teknik melebur logam yang dibuat menjadi beragam benda yang diinginkan. Teknik pengolahan logam yg maju, telah membuat sejumlah benda-benda dari perunggu & sebagian sudah berhasil ditemukan balik di Bali.

Salah satu peninggalan yg ditemukan pada Bali adalah nekara. Dahulu nekara ada yg digunakan sebagai genderang perang atau sebagai benda upacara yang dapat mendatangkan hujan buat pertanian. Nekara ditemukan pada desa Pejeng (Gianyar), Peguyangan (Badung), & Bebitra (Gianyar). Mengenai pembuatan nekara perunggu ini diduga, bahwa nekara ini dibentuk di wilayah Bali. Lantaran pada desa Manuaba (Gianyar) telah ditemukan 5 buah cetakan batu buat menciptakan nekara. Cetakan batu tersebut sekarang masih disimpan pada pada sebuah pura di desa Manuaba.

Selain nekara, pada wilayah Bali pula ditemukan benda-benda perunggu. Seperti tajak, gelang kaki dan tangan, cincin, anting-anting, ikat pinggang, pelindung jari tangan, & sebagainya. Sebagian berdasarkan benda-benda ini telah ditemukan di pada peti mayat (sarkofagus) yang beredar hampir di semua Bali. Temuan yg penting pula berdasarkan masa ini adalah tutup mata menurut emas yang berbentuk kerucut ditemukan di Gilimanuk (Jembrana).

Berdasarkan output-hasil penelitian para sarjana terhadap temuan-temuan tersebut di atas bisa diketahui bahwa masyarakat Bali telah mengenal teknologi pembuatan benda-benda menurut perunggu. Mereka telah berhasil jua mengolah benda-benda menurut emas. Di antara benda-benda tersebut, terdapat yg dimaksudkan sebagai bekal kubur. Karena sinkron menggunakan kepercayaan animisme yang dianggap sejak masa bercocok tanam.

Kehidupan insan dalam masa perundagian sudah mencapat zenit perkembangannya, termasuk penguasaan teknologi. Kemajuan teknologi ini sudah melahirkan para undagi yg terampil & kreatif. Misalnya dalam pembuatan benda-benda dari perunggu dan gerabah berdasarkan tanah liat. Kehidupan dalam masyarakat desa yang baik & teratur, memberikan kemungkinan bertambahnya penduduk menggunakan cepat. Peranan pemimpin warga semakin menonjol. Disamping peranan kaum ulama yg bertugas buat menyelesaikan upacara-upacara keagamaan. Sebagan dari penduduk hidup berladang atau bercocok tanam & mereka yg berdiam di pesisir pantai hidup menangkap ikan, mencari kerang, dan siput laut.

Mereka telah membuat karya-karya seni yg jua mempunyai nilai-nilai keagamaan seperti hiasan-hiasan yg masih ada pada Bulan Pejeng, dalam beberapa sarkofagus, & hiasan-hiasan pada gerabah-gerabah yg ditemukan pada Gilimanuk. Seni pahat sudah berkembang dengan baik, terbukti menurut hiasan-hiasan kedok muka pada tonjolan-tonjolan sarkofagus tertentu & arca sederhana yang ditemukan di Poh Asem, Gelgel, & Depaa. Mungkin sekali bahwa seni pahat pada masa perundagian ini lalu sebagai dasar bagi perkembangan seni pahat di Bali setelah Agama Hindu hingga di Bali.

Kehidupan rakyat prasejaranh pada wilayah Bali telah memberikan dasar-dasar yang bertenaga sekali bagi perkembangan selanjutnya terutama selesainya Agama Hindu hingga pada Bali. Masa perundagian adalah zenit segala kemajian yg berhasil dicapai.

Dasar-dasar kehidupan rakyat tadi akhirnya mengantarkan masyarakat Bali memasuki masa sejarahnya kira-kira pada abad ke 8 M. Dengan ditemukannya stupika-stupika dan materai-materai tanah liat berdasarkan desa Pejeng (Gianyar) yg memuat mantra-mantra singkat Agama Budha. Hal ini menunjukkan, bahwa Agama Budha telah tiba pada sini sebelum datangnya Agama Hindu. Pulau Bali menerima efek Agama Budha & Hindu selama beberapa abad & lalu disusul dengan pengaruh-efek kebudayaan lainnya berdasarkan Barat.

Walaupun secara resmi Bali sudah memasuki masa sejarah kurang lebih abad ke 8 M, tradisi prasejarah masih dilakukan hingga saat ini. Seperti pemujaan roh nenek moyang & teknik-teknik membuat alat-indera dari logam juga dari tanah liat.

Sumber:

1. Sutaba, I Made. 1980. Prasejarah Bali. Gianyar: B.U. Yayasan Purbakala Bali

Kuliner Khas Kutai Timur

Sambal raja terbuat dari cabai, bawang merah, terasi, tomat yang digoreng hingga lembek dan mudah dihaluskan. Disertai dengan tempe, udang, ...