Afrika merupakan benua yg kaya akan sumber daya alam. Tetapi, benua ini justru sebagai benua termiskin di global. Total PDB semua negara di Afrika hampir 1/3 dari PDB Amerika Serikat. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi negara-negara Afrika adalah salah satu yg tercepat di global. Meskipun masih ada sejumlah negara yg dilanda permasalahan & kemiskinan yang luar biasa. Kemiskinan di Afrika sepertinya sulit dipecahkan & terdapat perdebatan tentang penyebabnya. Penyebab biasanya adalah perang, kerusuhan, korupsi, politik yang tidak stabil, dan rezim pemerintah yang lalai. Mengapa Afrika poly mempunyai negara miskin & kolot? Langsung saja kita simak yang pertama:
Sesungguhnya, nir semua loka di Afrika identik menggunakan kumuh, miskin, dan penuh permasalahan. Ada satu kota seperti Kigali, ibukota Rwanda, sebuah negara kecil di tengah Afrika, bahkan jauh lebih rapi, bersih, & tertata dibandingkan ibukota Indonesia.
Selama 40 tahun terakhir, tingkat investasi pada Afrika semakin menurun. Peringkat hutang yg buruk berakibat negara-negara pada Afrika nir layak investasi. Hal itu ditimbulkan oleh berbagai perkara mulai menurut pertarungan hingga pemerintah yg korup. Bahkan, sebagian akbar investasi dipakai buat hal yg tidak penting dan nir efisien.
Menurut para peneliti di Overseas Development Institute, kurangnya infrastruktur pada banyak negara di Afrika sebagai batasan paling signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pencapaian tujuan pemerintah. Investasi dan pemeliharaan infrastruktur bisa sangat mahal, terutama di negara terkurung daratan & wilayah pedesaan yang sporadis penduduknya.
Kualitas asal daya manusia Afrika paling tidak baik di global. Jumlah anak yang melaksanakan pendidikan dasar sangat sedikit. Banyak penduduk yg tidak menyadari pentingnya pendidikan sebagai akibatnya lebih baik anak-anaknya disuruh bekerja membantu orangtua ketimbang menempuh pendidikan. IPM negara pada Afrika juga tergolong rendah yg keliru satu penyebabnya adalah nomor asa hayati yang rendah.
Dampak ekonomi berdasarkan kolonisasi Afrika telah diperdebatkan. Beberapa peneliti berpendapat bahwa Eropa mempunyai pengaruh positif terhadap Afrika, sedangkan terdapat jua yg beropini bahwa pembangunan Afrika dihambat sang pemerintahan kolonial. Tujuan primer pemerintahan kolonial pada Afrika sang Eropa adalah buat mengeksploitasi kekayaan alam pada benua Afrika menggunakan porto rendah. Beberapa penulis misalnya Walter Rodney dalam bukunya How Europe Underdeveloped Africa beropini bahwa kebijakan kolonial ini secara langsung bertanggung jawab buat poly kasus pada Afrika terbaru. Kolonialisme melukai pujian, harga diri, dan kepercayaan Afrika. Frantz Fanon menambahkan bahwa dampak sebenarnya menurut kolonialisme bersifat psikologis bahwa penguasaan kekuatan asing membentuk rasa inferioritas & penaklukan tak pernah mati yg membangun penghalang buat pertumbuhan & penemuan. Argumen itu menandakan bahwa generasi baru orang Afrika yg bebas menurut pemikiran dan pola pikir kolonial bermunculan & hal itu bisa mendorong transformasi ekonomi.
Sejarawan L.H. Gann & Peter Duignan beropini bahwa Afrika mungkin diuntungkan menurut kolonialisme. Kolonialisme dipercaya menjadi mesin paling manjur buat difusi budaya. Pandangan kolonialisme sebagai hal yang tidak baik ditentang. Sejarawan ekonomi David Kenneth Fieldhouse merogoh jalan tengah menggunakan mengungkapkan bahwa efek kolonialisme benar-sahih terbatas & kelemahan utamanya bukan pada keterbelakangan yg disengaja tetapi apa yang gagal dilakukan. Niall Ferguson sepakat menggunakan pon terakhir dengan alasan bahwa kelemahan utama kolonialisme adalah kelalaian. Analis ekonomi negara-negara Afrika menemukan bahwa negara-negara merdeka seperti Liberia dan Ethiopia nir mempunyai kinerja ekonomi yg lebih baik ketimbang negara-negara pasca-kolonial lain. Secara spesifik, kinerja ekonomi bekas koloni Inggris lebih baik daripada negara-negara merdeka dari bekas koloni Perancis.
Kemiskinan relatif Afrika mendahului kolonialisme. Jared Diamond berpendapat dalam bukunya yang berjudul Guns, Germs, and Steel bahwa Afrika selalu miskin karena sejumlah faktor ekologis yang mempengaruhi perkembangan sejarah. Faktor tersebut termasuk kepadatan penduduk yang rendah, kurangnya hewan ternak dan tumbuhan, dan syarat geografi Afrika. Namun teori Diamond sudah dikritik sang beberapa orang. Sejarawan John K. Thornton beropini bahwa Afrika sub-Sahara nisbi kaya dan berteknologi maju hingga setidaknya abad ke-17.
Orang miskin pada Afrika sangat menderita dengan pendapatan yang sangat mini . Bahkan poly berdasarkan mereka yg mati kelaparan. Sedangkan orang kaya mendapatkan pendapatan yg sangat besar . Hal tadi tak jarang menyebabkan permasalahan yg memicu ketidakstabilan pada sejumlah negara di Afrika.
Negara-negara Afrika menderita kesulitan komunikasi yg disebabkan sang keragaman bahasa. Indeks keragaman Greenberg adalah peluang dua orang yg dipilih secara acak akan memiliki bahasa ibu yang tidak sama. Dari 25 negara yg paling beragam dari indeks ini, 18 antara lain adalah orang Afrika. Ini termasuk 12 negara yang memiliki indeks keragaman Greenberg melebihi 0,9 yang berarti sepasang orang yg dipilih secara acak akan mempunyai kurang menurut 10% kemungkinan memiliki bahasa bunda yg sama. Tetapi, bahasa utama pemerintah, debat politik, tentang akademis, dan administrasi seringkali memakai bahasa bekas penjajah kolonial seperti Inggris, Perancis, dan Portugis.
Negara-negara Afrika kerap menginvestasikan uangnya buat hal yg tidak mempunyai imbas jangka panjang misalnya senjata dibandingkan mesin industri. Akibatnya, poly negara demokratis baru pada Afrika yang dibebani hutang sebagai output dari rezim totaliter. Anggaran seringkali disalahgunakan buat menyebarkan mega proyek yg nir bermanfaat. Seperti pembangunan bendungan pada Ghana dan Mesir yg justru menghambat lingkungan dan tidak berguna.
Teori ketergantungan menyatakan bahwa kekayaan & kemakmuran negara adidaya dan sekutunya di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur bergantung pada kemiskinan di semua dunia termasuk Afrika. Ekonom yang menganut teori ini percaya bahwa wilayah yg lebih miskin wajib menetapkan hubungan dagang mereka dengan negara maju supaya sanggup makmur.
Teori yang lebih tidak radikal memperlihatkan bahwa proteksionisme ekonomi pada negara maju menghambat pertumbuhan Afrika. Ketika negara-negara berkembang memanen output pertanian dengan porto rendah, mereka umumnya nir mengekspor sebanyak yang diperlukan. Berlimpahnya subsidi pertanian dan tingginya tarif impor pada negara maju seperti Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat dianggap sebagai penyebabnya. Meskipun subsidi dan tarif telah dikurangi secara sedikit demi sedikit, tetap saja masih tinggi.
Kondisi domestik jua mensugesti ekspor. Over-regulasi di beberapa negara Afrika justru mencegah ekspor. Penelitian oleh Jane Shaw menampakan bahwa hegemoni negara akbar menekan pertumbuhan ekonomi Afrika. Petani hanya sanggup melayani pasar lokal lantaran peluang ekspor sangat sedikit. Karena terdesak pasar, para petani berinovasi lebih sedikit sehingga menumbuhkan lebih sedikit kuliner yang semakin menggerogoti kinerja ekonomi.
Negara-negara pada Afrika dikenal rawan pertarungan & kekerasan seperti pada Sudan Selatan, Somalia, Zimbabwe, Sudah, Chad, & Republik Demokratik Kongo. Pemerintah Somalia bahkan tidak memiliki otoritas atas sebagian akbar wilayahnya sebagai akibatnya diklaim negara gagal. Perang saudara di Republik Demokratik Kongo dan Sudan Selatan sudah membuat sebagian rakyat hayati di bawah garis kemiskinan. Kekayaan alam & mineral habis buat mendanai perang & kepentingan langsung. Selain itu, terdapat jua pergolakan etnis yg semakin memperparah permasalahan di Afrika.
Meskipun pada tahun 1960-an tingkat pendapatan Afrika dan Asia sama, Asia melampaui Afrika sejak itu. Salah satu ekonom berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Asia yang pesat didapatkan dari investasi lokal. Korupsi pada Afrika keliru satunya berupa pemindahan modal finansial yg didapatkan negara tidak buat investasi pada negaranya sendiri, melainkan disimpan pada luar negeri. Stereotip para diktator Afrika menggunakan rekening bank Swiss sering seksama. Peneliti berdasarkan University of Massachusetts memperkirakan bahwa berdasarkan 1970 hingga 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara mencapai US$ 187 miliar melebihi utang luar negeri negara tersebut. Pejabat seringkali menyimpan kekayaan mereka di luar negeri dan kemungkinan nir akan diambil untuk masa depan.
Meskipun korupsi sebagai perkara generik di setiap negara, pada Afrika tak jarang lebih parah. Banyak penduduk asli Afrika percaya bahwa interaksi famili lebih penting daripada profesionalisme sebagai akibatnya orang-orang berwenang tak jarang memakai nepotisme dan penyuapan buat kepentingan mereka.
Kebanyakan kelaparan lebih ditimbulkan sang kurangnya pendapatan dibandingkan kekurangan makanan. Dalam situasi seperti ini, bantuan kuliner (menjadi lawan menurut bantuan keuangan) mempunyai dampak menghancurkan pertanian lokal dan memberi manfaat bagi agribisnis Barat yang sangat overproduksi makanan menjadi akibat dari subsidi pertanian. Secara historis, donasi kuliner lebih tinggi berkorelasi menggunakan kelebihan pasokan di negara-negara Barat daripada kebutuhan negara-negara berkembang. Bantuan luar negeri sudah menjadi bagian berdasarkan pembangunan ekonomi Afrika sejak 1980-an.
Model bantuan telah dikritik karena menggantikan inisiatif perdagangan. Bukti yg berkembang menunjukkan bahwa bantuan luar negeri justru membuat benua tersebut menjadi lebih miskin. Salah satu kritikus terbesar berdasarkan model bantuan merupakan ekonomi Dambiso Moyo (seseorang ekonom Zambia yang berbasis pada Amerika Serikat) yg menyoroti bagaimana bantuan asing telah sebagai penghalang bagi pembangunan lokal.
Saat ini, Afrika menghadapi perkara penerimaan bantuan asing pada daerah yg terdapat potensi penghasilan tinggi. Afrika membutuhkan lebih banyak kebijakan ekonomi dan partisipasi aktif pada ekonomi global.